Majelis Permusyawaratan Rumah (MPR) menjadi wadah positif bagi tumbuh-kembang anak di rumah. MPR bisa menjadi ajang evaluasi ayah, ibu, dan anak-anaknya.
Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, mengatakan anak belum banyak tahu dan sedang dalam proses belajar. Jika orangtua atau orang dewasa di sekelilingnya berkata kasar, anak akan belajar darinya.
Orangtua bisa saja keliru atau tak sengaja melontarkan kata kasar di depan anak. Jika sudah begini, orangtua harus legowo meminta maaf. Hadirkan juga kesempatan berbagi dengan melibatkan anak, tentang perilaku baik dan buruk yang terjadi selama seminggu.
“Mendidik anak dengan kata atau sikap kasar tidak akan memberikan keteladanan. Munculkan suasana kasih sayang dengan mengobrol, misalkan dalam bentuk sidang Majelis Permusyawaratan Rumah. Evaluasi bersama dengan meminta pendapat anak tentang perilaku baik buruk, yang disukai atau tidak oleh anak dari orangtuanya,” papar Kak Seto dalam acara Metro Pagi yang ditayangkan Metro TV, Sabtu (10/4/2010) pagi tadi.
Orangtua perlu mencatat apa yang disukai anak dan tidak dari perilaku ibu dan ayahnya, demikian Kak Seto mencontohkan budaya terbuka dalam MPR ini. Tak perlu sungkan untuk meminta anak menegur orangtua, jika tak sadar bicara kasar.
Menurut Kak Seto, cara ini mengajarkan anak tentang budaya baik dan buruk yang boleh dan tidak boleh dilakukan di rumah. Anak akan belajar dari keteladanan dan keterlibatannya bersama orang dewasa.
“Anak harus diberdayakan dan terlibat dalam membentuk budaya keluarga. Orangtua juga harus mau dikritik. Misalkan janji ke mal tapi tak dipenuhi, lalu anak menagih janji. Ini baik dilakukan oleh anak. Berikan penjelasan kepada anak agar mereka memahami kondisinya,” tukas Kak Seto.
Anak akan merasa satu tim dengan ayah-ibunya jika mereka diperlakukan sebagai subyek, lanjutnya. Hanya saja perlu juga diperhatikan, MPR akan efektif jika suasananya menyenangkan dan tidak kaku.