Menarik!
Sungguh menarik tulisan Khalid Asy-syantut dalam bukunya “Rumah, Pilar Utama Pendidikan Anak”. Pada sub bab “Peran Ayah dalam Mendidik Anak”, pakar pendidikan Islam ini menuliskan, “Ketika anak berusia lebih dari dua tahun, ayah hendaknya mengajak anak bermain bersama.”
Mengapa Khalid Asy-Syantut menganjurkan hal yang demikian?
Apa pentingnya bermain dalam tahapan pendidikan anak?
Dan mengapa harus ayah?
***
Jam menunjukkan pukul 05.30 ketika mobil ayah mulai dinyalakan untuk dipanaskan. Ayah harus berangkat pagi sekali bila tidak mau terjebak macet dan terlambat sampai di kantor. Bunda mengantarkan ayah di pintu sambil menggendong adek yang masih dalam usia menyusu. Kakak pun menggandeng tangan Bunda sambil terus mengajak bicara sang ayah. Ayah yang tergesa dan khawatir terlambat hanya menimpali sesekali. Itu pun ketika kakak sudah menanyakan hal yang sama berulang kali hingga membuat ayah bosan dan mulai merasa terganggu.
Jam 05.45 ayah pun berangkat ke kantor. Kakak dan adik menghabiskan waktu bercengkrama dengan bunda sepanjang hari. Bunda melakukan semua pekerjaan rumah sambil mengasuh kakak dan adik. Makanan bergizi pun terhidang. Baju tercuci dan tersetrika rapi. Rumah bersih dan wangi. Lalu bunda mengajarkan kakak membaca dengan telaten sambil menyusui adik. Malam pun tiba, Bunda dengan penuh kasih sayang menutup kegiatan hari ini dengan berkisah untuk kakak dan adik yang mulai mengantuk.
Tiba-tiba terdengar bunyi pagar rumah yang dibuka dan derum suara mobil ayah memasuki halaman. Anak-anak pun berlarian ke depan menyambut ayah.
“Ayah, kakak tadi diajari membuat pesawat oleh Bunda. Ayo Yah kita main, kakak sudah tunggu Ayah dari tadi”.
Ayah menjawab,”Sama bunda saja yah mainnya, ayah lelah sekali. Sekarang ayah mau mandi dan langsung istirahat. Jangan ganggu ayah yah, ayah kan seharian kerja cari uang untuk kalian.”
Kakak pun menggandeng bunda dan minta bunda menyimpankan pesawatnya sambil berkata,”Bunda, ayah capek yah cari uang untuk kita? Kalau begitu kakak main sama ayah hari Ahad saja yah Bun, kalau ayah sedang tidak bekerja.”
Ahad pun tiba. Ayah sudah mandi dan rapi di pagi hari. Melihat ayah sudah rapi, Kakak yang terlambat bangun langsung minta diambilkan pesawat untuk mengajak ayahnya bermain. Namun ayah berkata,”Mainnya sama bunda saja yah Nak, Ayah ada janji reuni dengan teman-teman ayah.Nanti pulang ayah belikan mainan pesawat yang bagus untuk kakak.”
“Asiiik, nanti kita main ya Yah…” seru Kakak.
Ayah pun menyahut,”Sepertinya ayah akan pulang malam hari ini, Kak. Mainnya besok sama Bunda saja yah. Yang penting, besok pagi ketika kamu bangun tidur, mainan pesawat yang baru dan bagus sudah ada di meja belajarmu.” Kakak pun mengangguk. Entah apa yang ada di hatinya.
***
Banyak dari para suami yang mengira bahwa mendidik anak adalah tanggung jawab istri. Suami tidak dituntut kecuali untuk memenuhi kebutuhan materi anak-anak dan istrinya. Akibatnya, suami sering menghabiskan waktunya di luar rumah bersama rekan-rekannya dan ketika kembali ke rumah langsung beristirahat di kamar sambil meminta istrinya menemani anak-anak mereka agar tidak menganggu istirahatnya. Jika demikian keadaannya, keluarga tersebut jelas dalam keadaan bahaya (Asy-Syantut, 2005).
Ayah, tidak malukah pada Rasulullah, sang pemimpin ummat? Yang dalam kesibukannya yang tak terbayangkan, Beliau tetap menyediakan waktu bercengkrama dengan anggota keluarganya.
Ingatkah kisah bagaimana Rasulullah pernah sholat sambil menggendong Umamah? Beliau memberikan keteladanan dan contoh nyata cara sholat dan adabnya yang dirasakan langsung oleh si kecil Umamah, sekaligus memberikan ilmu kepada para sahabat.
Tidakkah kita ingin mencontoh kemesraan antara Rasulullah dengan Hasan dan Husein radhiallahu anhum ketika mereka duduk dan bercanda bersama? Bagaimana Beliau menyediakan punggung dan dadanya untuk dinaiki oleh kedua cucu kesayangannya, sambil mencium dan mendoakan mereka. Lihatlah nilai yang ditanamkan dari kedekatan emosional yang dibangun oleh Rasulullah dengan Hasan dan Husein.
Juga tidak lupa kita akan kisah dilarangnya Hasan memakan kurma sedekah. Penanaman nilai halal haram yang diberikan bahkan ketika si kecil sedang digendong di atas bahunya.
Tidakkah itu cara efektif menanamkan nilai keimanan? Gabungan antara kasih sayang, bermain dengan aktivitas fisik yang membangun kedekatan emosional , yang semuanya berpadu dengan ketegasan khas seorang ayah. VIP! Eksklusif hanya Ayah….. Ya! AYAH!
***
Ajaklah anakmu bermain, Ayah…
Mengoptimalkan waktu yang tidak banyak di antara kesibukanmu mencari nafkah,
Karena anakmu menanti dan menikmati kebersamaan bersamamu…
Itu semua adalah peranmu, Ayah…
Dalam mendidik anakmu, harapan terbesarmu, asetmu yang paling berharga
Karena hanya dirimu yang memiliki kombinasi lengkapnya…
Ayah,
Dirimu lah sang pemimpin keluarga ,
Dimana peran besar pendidikan keluarga ada di tanganmu,
Dirimu lah yang kelak akan mempertanggungjawabkan kepemimpinanmu terhadap kami semua di hadapan Allah pada akhirnya….
Menjadi orang tua di zaman jahiliyah modern saat ini sungguh tidak mudah. Tantangannya semakin canggih. Bukan hanya dari personel sang buah hati, tapi juga pengaruh luar. Lingkungan pergaulan, teknologi informasi hingga media massa tak henti-hentinya menjajah pemikiran anak-anak. Tak mudah bagi orang tua untuk senantiasa memahami isi kepala ananda tercinta.
Nah, salah satu strategi untuk selalu bisa mengawasi perkembangan anak adalah dengan menjadi sahabat anak. Ini karena sebagai pribadi yang masih labil, dalam kesehariannya anak-anak sangat membutuhkan figur orang tua. Orang tua adalah role model bagi mereka.
Tapi, di sisi lain, dengan perkembangan usia, anak membutuhkan sosok sahabat yang bisa menjadi partner dalam dunianya. Nah, sebagai orang terdekat anak, orang tua harus bisa berperan sebagai sahabat bagi anak. Sebagai sahabat, orang tua hendaknya menempatkan diri sejajar dan partner anak. Bagaimana caranya?
Pertama, jadilah pendengar yang baik dan aktif. Siapkan telinga untuk mendengar celotehnya. Berikan respons positif dan logis ketika anak curhat. Ajukan pertanyaan-pertanyaan seputar ceritanya, tapi jangan membuat privasinya merasa terusik dan terganggu. Berikan anjuran atau pendapat yang bisa ia mengerti, tapi jangan menekankan keharusan yang terkesan mendikte. Kembangkan inisiatif dan kreavitasnya.
Kedua, libatkan diri dalam kegiatan anak. Pahami apa yang disukai dan tidak disukai anak. Selami dunia si kecil. Temani dan dampingi anak ketika bermain. Pahami kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan saat beraktivitas. Perhatikan kreativitasnya terhadap mainan dan ajaklah berbicara secara aktif agar kecerdasannya terstimulasi secara efektif. Dengan melakukan ini, orang tua dapat memahami kelebihan dan kekurangan anak, serta tidak selalu memaksakan kehendak terhadap anak.
Ketiga, berikan pujian dan teguran secara jujur, tulus, proporsional dan rasional. Ketika anak berbuat salah, tegur ia dengan sikap tidak menghakimi. Jangan mengekspresikan kemarahan berlebihan yang akan membuatnya tertekan. Berikan pujian untuk setiap keberhasilan yang diraihnya agar ia merasa dihargai dan termotivasi, tapi jangan berlebihan. Sampaikanlah kelebihan dan kekurangan anak dengan jujur, tetapi dengan cara yang membuatnya mengerti dan tidak merasa disakiti.
Keempat, berikan kepercayaan pada anak. Sesekali biarkan anak mencoba sendiri hal-hal yang ingin dilakukannya asal tidak membahayakan. Misal mandi dan makan sendiri atau mencoba permainan baru. Cara ini dapat menumbuhkan kepercayaan dirinya, tidak selalu bergantung kepada orang lain, merasa dihargai dan bisa mandiri. Dengan penghargaan dan kepercayaan, kemampuan kreatifnya pun akan lebih berkembang.
Bulan Desember ini ada satu hari yang disebut hari Ibu. Ternyata di negeri kita juga ada hari ayah. Hari ayah diperingati pada setiap tanggal 12 November. Diskusi tentang peran ayah yang ideal kembali mencuat. Sosok ayah ideal sangat penting dalam mendidik anak. Karena mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, ayah dan ibu. Gagalnya orang tua dalam mendidik anak bisa mengakibatkan perilaku-perilaku anak yang tidak terpuji, misalnya anak marah dan membentak orang tua, jauh dari nilai-nilai islam dan sebagainya.
Peran seorang ayah secara sederhana bisa dikelompokkan dalam dua bagian, pertama peran seorang ayah di dalam aktivitas publik (eksternal) dan peran ayah dalam aktivitas privat (internal). Seyogyanya ayah berusaha optimal dalam dua area tersebut. Karena kelak anak butuh role model dalam area publik maupun privat.
Peran ayah di area publik.
1. Pekerja
Islam memberikan tanggung jawab mencari nafkah pada suami. Hukum menafkahi keluarga adalah wajib. Dengan begitu, seyogyanya ayah berusaha sungguh-sungguh dalam mengupayakan nafkah keluarga, tidak menelantarkan mereka. Ayah harus punya visi kedepan terkait dengan kehidupan keluarga dari aspek finansial. Karena seiring dengan pertumbuhan buah hati, kebutuhan hidup semakin meningkat.
2. Produktif bagi Masyarakat
Di tengah berbagai kesibukan yang dilakukan ayah. Seorang ayah tetaplah menjadi bagian integral dari masyarakat. Ayah yang bisa memberikan kontribusi lebih ketengah masyarakat akan menjadi teladan bagi anak-anak. Ayah tak segan-segan ikut kerja bakti di kampung, menjadi aktivis sosial atau membantu tetangga yang membutuhkan.
3. Aktivis dakwah
Ditengah carut marutnya kondisi masyarakat. Aktivitas yang paling mulia adalah menjadi aktivis dakwah. Ayah diharapkan bisa mengambil peran dalam agenda dakwah di tengah umat. Memberikan kontribusi optimal agar umat lekas bisa terbebas dari aturan kehidupan yang menyusahkan ini (sistem kapitalisme).
Peran ayah di area privat.
1. Pendidik
Menjadi ayah harus berwawasan luas. Sepintar apapun istri, tetap ada kondisi dimana istri membutuhkan saran dan masukan dari ayah. Pendidikan anak tidak bisa diserahkan semuanya kepada istri. Ada kondisi dimana ayah membantu dan mengajarkan pelajaran tertentu. Ayah yang abai dari anak-anak akan tidak akan dekat secara emosional dengan mereka.
2. Pelindung
Ayah juga harus bisa mengayomi keluarga, memiliki sifat kasih sayang dan lembut kepada keluarga . Dalam surat Ali Imran 159 Allah berfirman :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Ayah tidak boleh berkata kasar. Jangan sampai kekerasan terhadap anak membuat anak-anak anda trauma berada dirumah.
3. Hakim
Ayah adalah pemimpin dalam rumahtangga. Posisi sebagai pemimpin mengharuskan seorang ayah untuk memberikan keputusan terhadap berbagai permasalahan. Ayah harus tegas, bijaksana, berwibawa serta adil dalam memutuskan masalah. Ayah tidak boleh plin plan dalam suatu perkara. Saat istri bimbang dalam sebuah perkara, ayah harus siap mengambil alihnya. Ketika anak-anak berselisih, ayah harus memberikan keputusannya dengan tepat.
4. Sahabat
Menjalin persahabatan dengan istri berarti ayah harus menyiapkan diri sebagai tempat curhat utama dari istri. Ayah yang bersahabat dengan anak berarti harus memahami karakter anak, menyelami dunia mereka. Tidak boleh dengan alasan mencari nafkah, ayah kehilangan waktu dengan mereka. Sahabat Abu Darda Ra pernah ditegur oleh sahabat Salman Al Farisi karena terlalu mementingkan ibadah dan mengabaikan hak-hak istri dan anak-anaknya.
Demikianlah peran ayah di area publik dan privat. Syukur syukur dengan peran ayah yang optimal bisa mencetak anaknya menjadi seperti tokoh ulama salaf. Semoga para ayah bisa membimbing anggota keluarga dan dipertemukan kembali di surga Nya. Aamiin.
Ada do’a menjelang tidur yang didahului oleh ucapan hamdalah. Bukan basmalah. Kita memuji Allah Ta’ala, mensyukuri nikmat-Nya dan lebih utama lagi mengingat seraya menghayati betul betapa berharganya nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan, terutama nikmat tempat tinggal yang aman melindungi saat kita hendak tidur.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a sebagai berikut:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِىَ لَهُ وَلاَ مُئْوِىَ
“Segala puji bagi Allah Yang telah memberi makan dan minum kepada kami, mencegah kami (dari segala keburukan) dan menampung kami (dalam tempat-tempat tinggal). Alangkah banyaknya orang yang tidak memiliki pencegah dan penampung.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berangkat tidur dalam keadaan tidak didera rasa lapar yang sangat sehingga sulit memejamkan mata, merupakan nikmat yang sangat besar. Alangkah banyak orang yang tidak mendapatkan sekedar pengganjal perut di saat sangat memerlukan sehingga berangkat tidur dalam keadaan gemetar lapar. Adapun tidur dalam keadaan kenyang, padahal ia tahu ada tetangga yang kelaparan, merupakan hal buruk. Tidak beriman orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia mengetahui ada tetangganya yang kelaparan.
Perlu kita bedakan antara tidak lapar dengan kenyang. Salah satu nikmat adalah tidur dalam keadaan tidak lapar, tetapi bukan berarti dalam keadaan kenyang.
Dari Anas bin Malik radliyallahu anhu, dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا آمَنَ بِى مَنْ بَاتَ شَبْعَانٌ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَ هُوَ يَعْلَمُ
“Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang padahal tetangganya yang di sampingnya dalam keadaan lapar sedangkan ia mengetahuinya.” (HR. Thabrani).
Di dalam hadits shahih yang lainnya bahkan ada peringatan yang lebih tegas. Saya merinding membacanya dan khawatir kalau-kalau termasuk di dalamnya. Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Baihaqi).
Ibnu Katsir rahimahullah ta’ala menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-jar al-junub (tetangga jauh) adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Ini sebagaimana riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas. Tetangga jauh juga bermakna tetangga yang tidak beragama Islam, baik Yahudi maupun Nasrani yang tidak memusuhi Islam. Nah, jika memperhatikan yang haknya sebagai tetangga lebih kecil saja menjadi ukuran beriman tidaknya seseorang, apalagi terhadap al-jar dzul qurba (tetangga dekat) yang memiliki hak jauh lebih besar. Yang dimaksud al-jar dzul qurba atau tetangga dekat adalah tetangga yang memiliki hubungan kerabat. Makna lainnya, tetangga yang seiman dengan kita.
Masih berkaitan dengan makanan dan tetangga, Rasulullah shallaLlahu alaihi wa sallam menasehatkan kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا، وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak maraq, maka perbanyaklah kuahnya, dan hadiahkanlah kepada tetanggamu.” (HR Muslim).
Maraq adalah masakan berkuah; sejenis soup yang aromanya kuat. Secara lebih luas maknanya mencakup segala jenis masakan berkuah, mengundang selera dan aromanya kuat. Lebih-lebih jika tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita kecil sekali kemungkinannya untuk dapat menikmati makanan semacam itu disebabkan oleh kemiskinan mereka, misalnya. Padahal masakan tersebut sangat menggoda selera. Aroma menggoda di malam hari, terlebih di saat mereka tidak mampu untuk sekedar mendapatkan pengganjal perut agar tidak terlampau lapar saat mau tidur, merupakan penghalang untuk dapat segera beristirahat.
Maka tatkala kita dapat berangkat ke pembaringan dalam keadaan tidak lapar, terlindung, aman dan nyaman, sepatutnya kita bermunajat mengucapkan do’a menjelang tidur dengan diawali pujian kepada Allah Ta’ala sebagaimana tuntunan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Semoga kita tertidur lelap dalam keadaan bersyukur kepada Allah Ta’ala, tenang dan bahagia.
Ayah…Tak jarang di saat kita baru saja pulang dari kantor atau datang dari luar kota, anak-anak berhambur mengerubuti kita, menyambut sang ayah dengan penuh kegembiraan. Kepenatan terkadang menyulitkan kita untuk memahami sambutan itu bahkan untuk sekedar sebuah sunggingan senyum di bibir. Ingin rasanya segera berbaring melepas lelah.
Ayah, Bersabarlah Sedikit…
Ayah….sesungguhnya kita pernah mengalami suasana yang sama. Setiap kita pernah melewati masa-masa seperti ini. Masa di mana kita masih kanak-kanak. Rengkuhan kelembutan sentuhan ibu terasa kurang tanpa kokohnya sentuhan ayah. Ketika hujan lebat dengan petir yang menggelegar sambut menyambut, dan kita hanya tinggal di rumah bersama ibu, apa yang kita rasakan ? Perasaan takut dan merasa tidak aman terselip di hati kita. Begitu ayah pulang, kita akan dapat merasakan perubahan yang luar biasa di hati kita. Sebuah perasaan aman dan terlindungi.
Ayah…tidak ada yang berubah dalam diri setiap anak-anak dari dulu hingga hari ini. Kalau kita mau berdiam sesaat membayangkan harapan-harapan ideal kita terhadap ayah dahulu, hari ini pun anak-anak kita memiliki impian dan harapan yang serupa. Mungkin kita dahulu mengalami banyak kekecewaan dalam berharap kepada ayah, kehadirannya, kebersamaannya, sentuhannya, dekapannya, atau apa pun yang kita harapkan dari sosok figur seorang ayah ideal yang tidak pernah kita nikmati. Menjadi sangat tidak adil kalau kemudian kita pun memberikan porsi yang sama kepada anak-anak kita.
Ayah…Isteri kita telah menggendong setiap anak kita tanpa ia lepas 9 bulan lamanya. Ia pun telah menggendong anak kita dalam susuan selama 2 tahun lamanya. Coba kita rasakan….ketika kita memberi dekapan dan gendongan kepadanya hanya dalam beberapa menit saja…anak kita begitu gembira. Dia tidak butuh dekapan dan gendongan kita seharian penuh. Dia hanya butuh dekapan dan gendongan kita beberapa saat saja.
Ayah… kalau kita dapat bertahan sehari penuh dengan pekerjaan di kantor yang menjemukan kita. Berwajah ramah dengan atasan di saat kita sedang jengkel kepadanya, hanya untuk sebuah posisi dan kredibilitas kerja kita. Hari ini ayah…kita coba berpikir sejenak seperti apa kita bisa memberikan sebuah senyuman dan dekapan hangat penuh kasih sayang kepada anak-anak kita ditengah penatnya tubuh dan jiwa ini. Bukan karena posisi dan kredibilitas kita dihadapan atasan dan rekan kerja kita. Tapi karena ini bagian dari tanggung jawab kita kepada Allah Subhanawata’ala.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Ayah…, berapa usia kita saat ini ? Hasan bin Ali Radhiallahu’anhu lahir pada tahun 3 Hijriah. Itu artinya kalau ia sedang lucu-lucunya dan senang sekali di gendong Rasulullah, pada saat usianya 3-5 tahun. Kejadian-kejadian ia bermain di punggung Rasul, di gendong oleh rasul sekitar tahun 6 – 8 Hijriah. Artinya usia Rasulullah pada saat itu adalah 59 – 61 tahun. Ok…ayah mari kita bayangkan sebuah peristiwa pada hadits di bawah ini,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ , قَالَ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِصِبْيَانِ أَهْلِ بَيْتِهِ , وَأَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَسُبِقَ بِي إِلَيْهِ فَحَمَلَنِي بَيْنَ يَدَيْهِ , ثُمَّ جِيءَ بِأَحَدِ ابْنَيْ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، فَأَرْدَفَهُ خَلْفَهُ , قَالَ : فَدَخَلْنَا الْمَدِينَةَ ثَلاثَةً عَلَى دَابَّةٍ ” , رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ
Dari Abdullah bin Ja’far Radiallahu’anhu ia berkata : Apabila Rasulullah saw. “pulang dari suatu bepergian, biasanya beliau disambut oleh anak-anak anggota keluarganya. Suatu hari beliau pulang dari bepergian dan aku lebih dahulu menyambut beliau. Lalu aku digendong beliau. Kemudian salah seorang anak Fathimah Radiallahu’anha menyambutnya. Diapun digendongnya di belakang. Kemudian kami bertiga memasuki kota Madinah di atas binatang tunggangan.”(Shahih Muslim 4455)
Hmm….Yah…apa yang terbayang oleh kita sekarang ? Seorang laki-laki berusia antara 59 – 61 tahun, baru saja balik dari sebuah perjalanannya, lalu di sambut oleh keponakan dan cucu-cucunya. Lalu lelaki ini menggendong keponakannya di depan dan menggendong cucunya di belakang….
Ayah….itulah yang di lakukan seorang Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam di tengah kepenatannya setelah bepergian. Kenapa kita tidak coba belajar untuk memulainya?.
“Jika ayah memahami bahwa anaknya adalah masa depan umat, maka tidak ada ayah yang mengabaikan anaknya demi bisnisnya.” ungkap Ustadz Budi Ashari, Lc dalam Kajian Rabu Malam, Masjid Darussalam, Depok (16/4/2014).
Pakar sejarah Islam ini mengingatkan para ayah bahwa anak-anak adalah hal yang paling mahal. Anak adalah mustaqbala ummah-masa depan ummat-. Di tangan merekalah peradaban Islam kelak. Jika hari ini kita masih kesulitan memilih pemimpin karena keterbatasan individu, maka para ayah harus mulai memikirkan bagaimana mencetak generasi pemimpin masa depan. Jangan sampai ayah terlalu sibuk di luar. Mencari nafkah memang tugas ayah, tapi itu bukan merupakan tugas satu-satunya.
“Nabi adalah sosok yang paling sibuk, tapi masih sempat meluangkan waktu mengusap kepala setiap anak yang ditemuinya. Bahkan Nabi menyempatkan diri mendidik dan bermain dengan cucu-cucunya. Apakah kesibukan kita mengalahkan nabi sehingga tak sempat peduli dan memperhatikan anak-anak?” tanyanya tegas.
Ayah dengan empat anak ini pun mengungkapkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal tegas dan galak saja sangat dekat dengan anak-anak. Ini membuktikan bahwa seorang laki-laki yang telah menjadi ayah harus bisa menempatkan diri, kapan menjadi laki-laki yang tegas dan kuat, kapan menjadi sosok lembut kepada anak dan istrinya.
Alumnus Universitas Madinah ini berkisah tentang kehebatan ayah Shalahuddin al Ayubi. Tidak mengherankan jika Shalahuddin menjadi orang besar di kemudian hari, pembebas Al Aqsha. Hal tersebut tidak lepas dari peran besar ayahnya yang menanamkan nilai dan keyakinan sejak kecil.
Ketika Shalahuddin kecil bermain dengan anak-anak perempuan di jalan, ayahnya mengambilnya dari tengah mereka. Ia pun mengangkat tubuh Shalahuddin tinggi-tinggi ke udara. Ayah Shalahuddin berkata, “Dulu, saya menikah dengan ibumu bukan untuk melakukan seperti ini. Aku menikah dengan ibumu agar kelak kau yang membebaskan al Aqsha!”
Shalahuddin dijatuhkan ke tanah, ia kesakitan. Ayahnya bertanya, apakah kamu sakit karena jatuh? Shalahuddin menjawab: Ayah menyakiti saya. Ayahnya bertanya lagi, “Mengapa kamu tidak teriak saja karena sakit?” Shalahuddin kecil pun menjawab,” Tidak layak seorang pembebas al Aqsha mengeluh kesakitan!”
Setelah membahas pentingnya peran ayah bagi anak, pakar pendidikan Islam ini mengutip karya Dr. Adnan Baharist yang mengungkapkan bahwa Allah telah siapkan perangkat agar aqidah anak terjaga. Menurutnya, anak-anak di usia awal mengambil nilai, akhlaq, hanya dari orang tuanya. Allah menjadikan orang tua sebagai contoh terhebat bagi anaknya.
“Di fase awal, anak-anak hanya percaya pada orang tuanya sehingga sulit digendong orang lain. Inilah perangkat yang Allah siapkan dalam rangka menjaga anak dari pengaruh luar. Masa kanak-kanak manusia lebih lama dibanding makhluk lain, agar cukup bagi orang tua menanam aqidah di diri anak.” tandasnya.
Lagi, seorang anak yang begitu belia mati di tangan kawan seumurannya di Jakarta. Kejadian ini semestinya membuat ayahbunda tersentak. Apa yang salah dalam pola asuh kita kepada anak-anak selama ini? Sampai-sampai anak yang masih amat belia bisa melakukan tindak kekerasan pada kawannya?
Kita percaya setiap anak terlahir fitrah. Tak ada di antara mereka yang muncul di alam dunia ditakdirkan sebagai ‘monster pembunuh’. Jiwa anak itu begitu polos namun juga fragile. Mudah retak.
Kepolosan itu juga membuat mereka mudah terwarnai oleh budaya di sekitarnya. Pola asuh orang tua, tontonan dan bacaan, pengaruh teman adalah faktor dominan yang begitu berpengaruh pada anak-anak. Anak adalah anugerah Ilahi, tapi pribadi anak adalah bentukan budaya.
Salah satu karakter yang dapat terbentuk pada anak adalah anger management. Pengendalian emosi. Setiap manusia memang sudah dikaruniai naluri untuk bertahan hidup (gharizah baqo’). Naluri ini bermanfaat agar anak dapat survive dalam kehidupan. Ketika merasa terancam ia bisa menangis atau melawan, atau melarikan diri.
Hal yang perlu kita sadari ekpresi seorang anak untuk survival amat ditentukan oleh pengalaman hidupnya, seperti pola asuh. Ia tidak muncul begitu saja. Nilai-nilai dan pembiasaan yang ditanamkan orang tua juga lingkungan pada anak akan mempengaruhi mereka dalam mengekspresikan naluri ini.
Seorang anak yang merasa dirinya ‘terancam’ akan mengambil tindakan sesuai habit yang tercipta dalam kehidupannya. Jika ia sudah sering diajarkan untuk melawan, maka dipastikan ia akan menyerang. Banyak kasus anak yang emosinya begitu meledak saat berselisih dengan kawannya lalu melakukan penyerangan secara fisik. Hal itu tidak direncanakan, tapi terbangun oleh naluri yang dilandasi pola asuh yang ia dapatkan. Misalnya, anak yang sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya maka akan terbangun dalam dirinya karakter antisosial, agresif dan selalu ingin membalas.
Oleh karena itu hati-hati dalam menanamkan nilai-nilai pengasuhan pada anak-anak kita. Benar, setiap orang tua pasti berusaha menanamkan nilai Islam pada anak-anak mereka, tapi ada seringkali orang tua berbeda antara tujuan dengan perbuatan. Maksudnya menanamkan nilai Islam tapi cara yang ditempuh justru keliru.
Ada sejumlah pola asuh yang sejak awal tidak kita berikan pada anak-anak kita, yakni:
Membiarkan otak anak diisi informasi kekerasan. Film, komik, video games adalah media paling ampuh menanamkan kekerasan pada anak. Sejumlah pengamat militer menyatakan bahwa konten kekerasan dalam video games yang sering dimainkan anak-anak dan remaja melebihi kadar pelatihan militer. Memukul, menusuk, menembak banyak masuk dalam konten video game kekerasan.
Mengajarkan Sikap Mendendam.
“Kenapa, nak? Jatuh ya? Pukul lantainya, nak!” beberapa orang tua tanpa sadar menanamkan pola asuh balas dendam pada anak-anak mereka. Saat jatuh tersandung, anak diajarkan untuk memukul lantai tempat mereka jatuh. Atau saat berselisih dengan kawannya, mereka diajarkan untuk membalas. Malah ada orang tua yang membiarkan anaknya berkelahi dengan kawannya juga saudaranya agar bisa melampiaskan dendam.
Alasan orang tua memberikan pola asuh seperti ini adalah agar anak bisa MEMBELA DIRI. Padahal pola asuh macam ini akan membentuk karakter negatif pada anak. Ia akan tumbuh sebagai sosok pendendam dan tak pernah puas sebelum bisa membalas perlakukan orang lain padanya.
Berlaku Kasar Pada Anak
Ada sebagian orang tua yang ‘katanya’ ingin mendisplinkan anak dengan cara berlaku kasar pada mereka. Saat anak melakukan kesalahan hukuman fisik diutamakan; menempeleng, memukul, atau mencela dengan celaan yang menyakitkan. Terkadang kesalahan itu sifatnya sepele seperti kehilangan botol minum di sekolah, lupa mengerjakan PR, dapat nilai kecil saat ulangan. Pola asuh kekerasan semacam ini membuat anak terbiasa dengan kekerasan dan membuat mereka mencari pelampiasan kepada orang lain, termasuk kawan-kawan mereka.
Terlalu Membela Anak. Pola asuh lain yang membangun karakter negatif pada anak adalah ketika orang tua terlalu membela anak saat bertengkar dengan kawan atau saudaranya. Kadangkala ada juga orang tua yang ikut campur dalam perselisihan antar bocah. Saat anaknya mengadu langsung ayah atau ibunya mendatangi rumah kawannya, memarahi bahkan ribut dengan orang tuanya. Wa iyyadzu billah!
Padahal kita tidak tahu persis apa pangkal pertengkaran antar bocah. Siapa yang salah ataupun benar, kita tidak tahu. Lagipula pertengkaran antar bocah adalah hal yang biasa dan bisa diselesaikan dengan baik oleh orang dewasa. Mengajak mereka untuk main bersama, saling memaafkan, atau membiarkan dulu mereka tidak bermain sementara waktu sampai suasana hati mereka tenang. Nanti ujung-ujungnya mereka juga bisa bermain bersama lagi. Itulah dunia anak!
Terlalu melindungi anak. Kebalikannya dengan di atas, ada orang tua yang over protective pada anak-anak mereka. Dilarang bermain dengan anak lain yang dianggap nakal, diisolasi di rumah, saat menangis langsung dibujuk dengan iming-iming hadiah agar diam. Pola asuh seperti ini akan membuat anak menjadi manja, kurang struggle dalam kehidupan dan tidak mandiri. Tidak mengapa anak kita menangis, terpukul kawannya, atau terjatuh, tapi ajarkan mereka untuk tidak berlama-lama menangis dan bersedih.
Jauh lebih baik mendidik anak kita agar memiliki karakter yang kuat dalam bertahan, ketimbang menyerang. Bertahan dalam arti mereka bisa bersabar, tahan ‘banting’, dan mudah memaafkan.
Bolehkah mengajarkan mereka untuk membalas? Ada saatnya nanti mereka kita tanamkan arti penting membela diri, bukan membalas. Membela diri adalah menjaga diri dan bukan untuk menyakiti. Bila kawan tidak menyerang maka pantang menyakiti kawan. Dan yang paling utama, ajarkan bahwa bersabar dan memaafkan itu jauh lebih mulia ketimbang membalas.
Apakah Anda termasuk ayah yang berkeyakinan seperti ini ; ayah kan sudah keluar seharian sampai kadang pulang malam mencari uang demi anak. Supaya bisa memberikan gizi yang lebih baik, menyekolahkan di tempat yang berkualitas yang biasanya mahal, memenuhi fasilitas belajar dan kehidupan anak-anak. Jadi pendidikan, diserahkan ke ibunya saja.
Jika Anda tipe ayah seperti ini, terjemahan dalam rumahnya menjadi begini ; ibu yang mengurusi semua semua hal tentang pendidikan baik ilmu ataupun keteladanan, kemudian pertemuan dengan ibu dianggap sudah cukup mewakili, efeknya merasa tidak terlalu penting pertemuan fisik ayah dengan anaknya, dan akhirnya ayah menumpahkan kesalahan yang dilakukan anak kepada ibu yang tidak becus mendidik, tanpa merasa ada andil kesalahan ayah di sana.
Anda ayah yang seperti ini?
Jika iya jawaban Anda,
atau: mungkin,
atau: kayaknya sebagian benar tuh.
Maka, sungguh Anda akan kehilangan anak-anak Anda di kemudian hari. Saat anak Anda memasuki pelataran masa depannya dan Anda telah memasuki kamar usia senja. Atau bahkan lebih cepat dari itu. Berbagai tsunami masalah menghantam kenyamanan rumah Anda karena ulah anak Anda yang baru gede.
Para ayah yang dirahmati Allah, yuk kita baca nasehat ini. Nasehat yang datang dari seorang ulama ternama abad 8 H. Semoga para ayah mendapatkan petunjuk Islam tentang keayahan.
Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam kitab (Tuhfatul maudud 1/242, MS) secara tegas mengatakan bahwa penyebab utama rusaknya generasi hari ini adalah karena ayah.
Beliau mengatakan, “Betapa banyak orang yang menyengsarakan anaknya, buah hatinya di dunia dan akhirat karena ia tidak memperhatikannya, tidak mendidiknya dan memfasilitasi syahwat (keinginannya), sementara dia mengira telah memuliakannya padahal dia telah merendahkannya. Dia juga mengira telah menyayanginya padahal dia telah mendzaliminya. Maka hilanglah bagiannya pada anak itu di dunia dan akhirat. Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah”.
Bacalah kalimat yang paling bawah : Jika Anda amati kerusakan pada anak-anak, penyebab utamanya adalah ayah. Imam Ibnu Qoyyim ‘menuduh’ Anda semua, para ayah. Di mana penyebab utama kesengsaraan anak, buah hati ayah di dunia dan akhirat adalah ayah. Hal ini disebabkan oleh 3 hal: tidak memperhatikan, tidak mendidik dan memfasilitasi syahwat.
Astaghfirullah…bagaimana nih, para ayah…?
Untuk menguatkan kalimat mahal di atas, mari kita simak pemaparan hasil penelitian ilmuwan hari ini.
Dr. Tony Ward dari University of Melbourne, Australia melakukan penelitian. Dalam penyelidikannya, para periset mewawancarai 55 laki-laki yang dipenjara karena penganiayaan terhadap anak-anak dan 30 laki-laki yang dipenjara karena terlibat kasus pemerkosaan. Mereka diminta memberikan persepsi-nya terhadap hubungan mereka di masa kanak-kanak dengan ayah dan ibunya. Sebagai perbandingan, para peneliti juga mewawancarai 32 laki-laki yang dipenjara karena kejahatan kriminal dan 30 laki-laki yang dipenjara bukan karena kekerasan atau kejahatan seksual.
Lebih lanjut, para pemerkosa dan pelaku penganiayaan anak-anak ini, rata-rata menggambarkan ayahnya bersikap “menolak” dan “kurang konsisten” ketimbang ibu mereka. “Jelas sekali, bahwa sikap dan kebiasaan yang dimiliki para ayah memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan anak-anaknya, terutama terhadap para pelaku kejahatan seksual dan penganiayaan anak-anak. Ya, setidaknya begitulah yang terjadi terhadap para penjahat di penjara,” kata Ward. (http://www.freerepublic.com/focus/f-news/749298/posts)
Penelitian tentang keayahan juga dilakukan oleh Melanie Mallers, asisten profesor diCalifornia State University di Fullerton.
Dalam studi tersebut, Mallers dan rekannya meneliti 912 pria dewasa dan wanita – usia 25-74 – melalui telepon tentang tingkat stres mereka selama delapan hari
Temuan penelitian disajikan hari Kamis pada konvensi tahunan American Psychological Association di San Diego, Pria yang cenderung bereaksi negatif terhadap stres setiap hari melaporkan bahwa sebagai anak-anak “Mereka sangat sedikit kehangatan dari ayah mereka, sedikit dukungan dan kasih sayang. Mereka tidak hadir secara fisik bagi mereka dan tidak membuat mereka merasa percaya diri,” kata Mallers. “They weren’t involved in their lives overall (Mereka tidak terlibat dalam kehidupan mereka secara keseluruhan).”
Astaghfirullahal ‘adzim….
Mari istighfar yang banyak, para ayah…
Dua penelitian tersebut hanya menguatkan kalimat Ibnu Qoyyim yang sudah dituliskan sejak 7 abad sebelum penelitian ini dihasilkan.
Dua pelajaran penting untuk para ayah semua dari pembahasan ini:
Silaturahmi adalah sebuah perbuatan baik dan tradisi Islam yang wajib dilaksanakan dan dijaga keberlangsungannya. Yang dimaksud dengan silaturahmi adalah menyambung tali persaudaraan terhadap para kerabat yang masih berhubungan karena adanya pertalian rahim (darah). Perintah untuk menjaga silaturrahmi ini terdapat di dalam firman Allah SWT:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi (QS an-Nisa’ [4]: 1).
Perintah yang sama juga terdapat dalam QS ar-Ra’d ayat 1.
Sebaliknya, ada celaan dan ancaman bagi yang memutus silaturahmi. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturahmi), serta melakukan kerusakan di muka bumi akan memperoleh laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (jahanam)” (QS ar-Ra’d [13]: 25).
Celaan yang sama juga terdaftar dalam QS Muhammad ayat 22-23. Allah SWT melaknat para pemutus silaturahmi dan menjanjikannya tempat kembali yang buruk (Jahanam). Ini adalah sebuah indikasi bahwa memutus silaturrahmi adalah perbuatan yang haram. Indikasi lain yang memperkuat kewajiban ini banyak dijelaskan di dalam hadis Rasulullah saw., antara lain sabda beliau:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, hendaklah memelihara tali silaturahmi “(HR al-Bukhari).
Telah sangat jelas dari serangkaian dalil-dalil di atas bahwa silaturahmi merupakan kewajiban utama bagi seorang Muslim dan masyarakat Islam pada umumnya. Silaturahmi, di samping sangat bermanfaat untuk memperkuat jalinan persaudaraan di dalam keluarga-keluarga Muslim, juga dapat menjadi media bagi pembiasaan dan pendidikan yang baik bagi keluarga Muslim, khususnya anak-anak, juga sebagai media untuk berdakwah dan syiar Islam.
Siapakah Kerabat?
Di dalam Islam, pengertian kerabat dapat mencakup dua macam: (1) kerabat yang dapat menjadi ahli waris dari seseorang, ketika orang tersebut meninggal dunia; (2) kerabat yang bukan merupakan ahli waris, namun masih memiliki pertalian darah dengan seseorang.
Kerabat ahli waris adalah orang-orang yang tercantum di dalam penerima warisan seperti ayah, ibu, saudara, anak, dll. Adapun kerabat yang bukan ahli waris dan bukan pula ‘ashabah (golongan yang mendapatkan bagian, jika ada sisa warisan) adalah: bibi dari pihak bapak atau ibu; kakek dari ibu; putra dari anak perempuan; putra dari saudara perempuan; anak perempuan dari saudara laki-laki, putri dari paman pihak bapak atau ibu; paman dari ibu; anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; dan siapa saja yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan mereka. Golongan kedua ini tidak berhak mendapatkan warisan, dan nafkah dari seseorang. Namun demikian, mereka merupakan kerabat yang wajib dijaga hubungannya dengan silaturahmi.
Media Pendidikan dan Dakwah Islam
Banyak aspek kebaikan dan pembelajaran yang tercakup di dalam kewajiban silaturhami ini, khususnya bagi anak-anak, yaitu antara lain:
Pertama, mengajarkan dan membiasakan anak untuk berbakti kepada orangtua, kakek dan neneknya serta bibi dan pamannya. Pihak inilah yang paling layak untuk mendapatkan prioritas utama di dalam silaturahmi. Abu Hurairah ra. Berkata, “Seseorang pernah datang kepada Nabi saw. dan bertanya, ‘Siapakah yang berhak mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya.’ Jawab Rasul, ‘Ibumu, lalu ayahmu, kemudian saudara perempuan dan saudara laki-lakimu.’” (HR al-Bukhari).
Kedua, melatih kepedulian terhadap keadaan para kerabat serta membantu yang kekurangan. Hal ini sangat didorong oleh Rasulullah saw. Salman bin Amir menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Sedekah kepada orang miskin itu sedekah satu kali. Sedekah kepada keluarga berarti sedekah dua kali, yaitu mendapat pahala sedekah dan pahala bersilaturahmi.” (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, ajang latihan untuk bersabar, mengalahkan egoisme dan memaafkan orang yang telah menzalimi kita, dengan menyambung kembali tali persaudaraan terhadap kerabat yang telah terputus, sekalipun mereka tidak menghendakinya, Semoga Allah SWT membukakan hati mereka untuk kembali menyambung silaturrahmi. Terkait dengan hal ini, Abu Hurairah ra. berkata, “Seseorang pernah bertanya, ‘Ya Rasulullah, saya memiliki kerabat. Saya menghubungi mereka, tetapi mereka tetap memutuskannya. Saya berlaku baik kepada mereka, tetapi mereka membalasnya dengan keburukan. Saya bersabar terhadap mereka, namun mereka tetap mengganggu saya.’ Nabi saw. bersabda, ‘Kalau benar perkataanmu, maka seolah-olah engkau menelankan abu kepada mereka, dan kau selalu mendapat bantuan dari Allah, selama engkau tetap demikian.’” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Amr bin Ash menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Bukanlah menghubungi tali persaudaraan (silaturahmi) itu adalah seorang membalas hubungan kebaikan. Namun, menghubungi persaudaraan (silaturahmi) itu adalah menghubungkan kembali persaudaraan jika kerabat memutuskannya (HR al-Bukhari).
Keempat, media untuk berdakwah dan menunjukkan syiar Islam, sekalipun terhadap kerabat yang masih berbeda keyakinan. Rasulullah saw. telah mencontohkan yang demikian ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ
Berilah peringatan terhadap sanak keluargamu yang terdekat (QS asy-Syu’ara [26]: 214).
Saat itu, sebagaimana penuturan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. segera mengumpulkan para kerabatnya seraya berseru, “Hai Bani Kaab bin Lu’ay, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abni Manaf, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Murrah bin Kaab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdil Muthallib, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sebab, aku tidak kuasa membela diri kalian dari siksa Allah sedikitpun, hanyalah hubungan keluarga, aku akan menghubunginya dengan baik.” (HR Muslim).
Jika berdakwah terhadap kerabat non-Muslim saja diperintahkan oleh Allah SWT, apalagi terhadap kerabat yang Muslim, tentu saja lebih utama untuk selalu menyampaikan nasihat dan saling mengingatkan (QS al-Ashr [103]:1-3).
Kelima, mengajarkan dan membiasakan kepada anak adab-adab Islam dalam bertamu seperti mengucapkan salam, meminta izin ketika memasuki rumah orang, bersikap ramah serta murah senyum, seperti halnya dijelaskan oleh Rasulullah saw., “Jika kalian saling berjumpa maka ucapkanlah salam dan berjabat tanganlah. Jika kalian berpisah maka berpisahlah dengan ucapan istigfar.” (HR ath-Thahawi).
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR at-Tirmidzi & Ibn Hibban).
“Seorang tamu yang masuk ke rumah suatu kaum hendaklah duduk di tempat yang ditunjuk kaum itu sebab mereka lebih mengenal tempat-tempat aurat rumah mereka.” (HR ath-Thabrani).
Demikian di antara kebaikan dan pembelajaran yang dapat diteladani oleh keluarga Muslim dari silaturahmi. Kemudahan komunikasi serta transportasi yang ada saat ini sangat membantu dalam memfasilitasi pelaksanaannya. Apalagi media dakwah pun telah sangat beragam; seperti halnya buletin, tulisan, CD, dll juga sangat efektif dijadikan buah tangan kepada para kerabat. Semoga Allah SWT selalu memberi keberkahan, melapangkan rezki dan memperpanjang usia bagi siapapun yang mengamalkan silaturrahmi ini. Wallâhu’alam bi ash-shawâb.
Secara alamiah, anak sebenarnya cenderung untuk belajar memiliki kemandirian. Ia berusaha menyuapi diri sendiri, meniru kita memasak, pakai sepatu atau pakai baju sendiri, meskipun masih terbalik. Ini semua merupakan kecenderungan awal yang apabila memperoleh kesempatan dari orangtua menjadikan anak memiliki kemandirian, secara luas maupun terbatas. Lebih-lebih jika orangtua memberi dukungan kepada anak untuk melakukan berbagai hal, termasuk yang masih relatif sulit, secara mandiri.
Tetapi kerap terjadi, orangtua tidak tega melihat anak mengalami kesulitan, sehingga alih-alih sayang anak justru merebut kesempatan anak untuk belajar. Tak jarang orangtua melakukan itu bukan karena sayang, tapi karena tidak sabar atau bahkan gengsi. Menyuapi anak makan misalnya, kadang karena sayang. Tapi tak dapat dipungkiri kerap orangtua menyuapi anak di saat anak sedang ingin belajar menyuapi diri sendiri karena orangtua tidak sabar, menganggap anak kelamaan, atau hanya karena tidak ingin lantainya kotor.
Sikap orangtua yang semacam ini akan memperburuk keadaan jika di saat yang sama anak sedang mengembangkan perilaku merajuk demi memperoleh perhatian yang lebih. Adakalanya anak tidak mau melakukan sesuatu sendiri juga bersebab keasyikan terhadap sesuatu, misalnya nonton TV atau main game. Jika ini dibiarkan, maka bukan saja kemandirian sulit diraih, meskipun untuk perkara yang sederhana. Lebih dari itu juga dapat mendorong anak menjadi pemalas atau mengembangkan rasa tak berdaya karena menganggap diri ‘ajiz (lemah karena sial).
Lalu apa saja yang perlu mendapat perhatian kita? Beberapa hal berikut ini semoga bermanfaat:
Kemandirian dalam Keterampilan Hidup
Prinsip pokok menumbuhkan kemandirian dalam soal ini adalah memberi kesempatan. Bukan melatih. Anak secara alamiah memang cenderung berusaha belajar melakukan berbagai keterampilan hidup sehari-hari secara mandiri, semisal makan. Jika kita mengizinkan anak melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari tersebut secara mandiri, lambat laun akan terampil. Yang kita perlukan hanyalah kesediaan mendampingi sehingga anak tidak melakukan terlalu banyak kesalahan, meskipun kita tetap harus menyadari bahwa untuk mencapai keterampilan perlu latihan yang banyak dengan berbagai kesalahannya.
Makan misalnya, kita melihatnya sebagai keterampilan yang sangat biasa dan tidak istimewa. Tetapi Anda akan terkejut manakala mendapati orang dewasa tidak terampil menyuapkan makanan ke mulutnya sendiri karena orangtua terlalu memanjakan sehingga senantiasa menyuapi anak hingga dewasa. Ini memang jarang terjadi, tapi kasus anak benar-benar tidak memiliki keterampilan makan hingga ia dewasa itu sungguh-sungguh terjadi.
Kemandirian itu akan lebih meningkat kualitasnya jika orangtua secara sengaja member rangsangan kepada anak berupa tantangan untuk mengerjakan yang lebih rumit dan sulit. Ini bukan saja melatih kemandirian dalam urusan keterampilan hidup sehari-hari, melainkan juga menumbuhkan kemandirian secara emosional.
Kemandirian Psikososial
Bertengkar itu tidak baik. Tetapi menghentikan pertengkaran begitu saja, menjadikan anak kehilangan kesempatan untuk belajar menyelesaikan konflik. Kita memang harus menengahi dan adakalanya menghentikan. Tetapi kita juga harus membantu anak menggali masalanya, merunut sebabnya dan menawarkan jalan keluar kepada anak, baik dengan menunjukkan berbagai alternatif tindakan yang dapat diambil maupun menanyakan kepada anak tentang apa saja yang lebih baik untuk dilakukan.
Apa yang terjadi jika kita bertindak keras terhadap berbagai konflik yang terjadi antar anak? Banyak hal. Salah satunya anak tidak berani mengambil sikap yang berbeda dengan teman-temannya, meskipun dia tahu bahwa sikap itulah yang seharusnya dia ambil. Anak tidak berani menolak ketika temannya mengajak merokok atau mencoba minuman keras. Mengapa? Karena ia dididik untuk tidak berani menghadapi konflik. Padahal kita seharusnya menanamkan pada diri anak sikap untuk mendahulukan prinsip daripada harmoni. Rukun itu penting, tapi hidup dengan berpegang pada prinsip yang benar itu jauh lebih penting. Kita tanamkan kepada mereka: principles over harmony.
Lalu apakah yang harus kita lakukan jika anak sedang bertengkar? Apakah kita biarkan mereka? Tidak. Kita tidak boleh membiarkan. Kita harus menangani. Membiarkan anak bertengkar dengan keyakinan mereka akan mampu menyelesaikan sendiri dapat memicu terjadi situasi submisif, yakni siapa kuat dia yang menang. Dan inilah yang sedang terjadi di negeri kita. Bahkan urusan antre pun, siapa yang kuat dia yang duluan. Dampaknya akan sangat luas dan bisa menakutkan.
Di antara yang dapat kita lakukan dalam kaitan konflik anak dengan temannya adalah menunjukkan kepada mereka tindakan-tindakan yang patut dilakukan oleh anak. Dalam hal ini, aturan dan prosedur sangat membantu anak dalam bertindak. Kita kenalkan anak pada etika agama.
Kita juga dapat melatih kemandirian psikososial anak secara lebih luas. Melatih mereka ke toilet sendiri berikut adab-adabnya, mengajari mereka untuk mencari informasi pada saat sedang berada di luar rumah (semisal di bandara), termasuk komplain yang santun ke Customer Service. Bahkan berbelanja sendiri pun adakalanya perlu kita latihkan agar anak dapat melakukan transaksi dengan baik dan benar.
Apa yang terjadi jika kita layani anak dalam banyak hal? Salah kemungkinannya adalahaffluenza. Ini banyak terjadi pada anaknya orang-orang yang sangat kaya sehingga mereka pada akhirnya justru sangat lemah. Mereka hanya terbiasa dituruti. Dalam soal belanja tak terbiasa mengendalikan diri sesuai kebutuhan, bahkan sulit membedakan kebutuhan dan keinginan, sehingga cenderung impulsif. Dan ini mulai banyak terjadi.
Tampaknya bukan masalah. Tapi ketidakmampuan mengendalikan keinginan justru menyebabkan manusia sulit bahagia.
Kemandirian Belajar
Inilah proses serius kita hari ini. Banyak sekolah yang bersibuk mengajari anak agar terampil membaca semenjak usia dini, tapi lupa bahwa yang paling mendasar adalah sikap positif, kemauan yang kuat, dorongan untuk membaca dan bangga dengan kegiatan tersebut. Anak belum mampu membaca saat kelas 1 SD bukan masalah jika mereka telah memiliki antusiasme belajar. Ini jauh lebih penting.
Jika anak memiliki kemauan yang kuat untuk belajar disertai keyakinan (bukan hanya paham) bahwa belajar itu penting, maka kita dapat berharap anak akan cenderung menjadi pembelajar mandiri saat mereka memasuki usia 10 tahun. Mereka memiliki semangat yang semakin menggebu. Sebaliknya jika kita hanya mengajari mereka berbagai kecakapan belajar semisal membaca dan berhitung, maka usia 10 tahun justru menjadi titik balik. Awalnya menggebu-gebu selama kelas 1, berangsur luntur, lalu benar-benar enggan belajar saat memasuki kelas 4 atau 5 SD. Maksudnya, ada yang mencapai titik balik berupa kejenuhan serta keengganan belajar di awal kelas 4, ada yang pertengahan atau akhir kelas 4, ada pula yang kelas 5 baru mengalami.
Kemandirian Emosional
Bekal pokoknya adalah pengenalan diri yang diikuti dengan penerimaan diri. Ini memerlukan peran orangtua dalam mengajak anak untuk mengenali kelebihan-kelebihan, kekurangan, kemampuan dan kelemahannya sendiri. Pada saat yang sama orangtua menunjukkan penerimaan terhadap kekurangan maupun kelemahan anak, tetapi bukan berarti membiarkan anak melemahkan dirinya sendiri. Malas dan enggan mengatasi masalah merupakan bentuk sikap melemahkan diri sendiri. Orangtua juga menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Maka tak patut merendahkan orang lain, tak pantas pula meninggikan diri. Lebih-lebih untuk sesuatu yang diperoleh tanpa melakukan usaha apa pun alias sepenuhnya merupakan pemberian semenjak lahir.
Yang juga penting untuk dilakukan adalah mendampingi anak mengenali kebutuhannya. Konon anak kecil pasti akan rewel jika sedang mengantuk sampai-sampai banyak orangtua yang meyakini bahwa rewel merupakan pertanda anak perlu tidur. Tetapi ternyata anak tidak perlu mengalami situasi tersebut jika ia mengenali kebutuhannya. Balita pun tak perlu rewel jika ia telah dapat mengenali kebutuhannya untuk istirahat. Setidaknya ini yang saya catat dari anak saya mulai dari anak ketiga, khususnya lagi sejak anak keempat hingga ketujuh.
Perlu juga mendampingi mereka untuk belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan perlu dipenuhi, meski tak serta-merta. Sedangkan keinginan, adakalanya dapat dituruti, tetapi tetap perlu belajar menahan diri. Semua ini ditumbuhkan bersamaan dengan menguatkan dorongan sekaligus kemampuan bertanggung-jawab, termasuk berkait dengan konsekuensi atas berbagai tindakan mereka.
Suatu malam saya terbangun. Karena esok tak ada pekerjaan, saya menyalakan televisi. Sebuah film khas Hollywood sedang tayang di sebuah stasiun televisi swasta.Freedomland judulnya. Saya duga genre-nya thriller. Memang benar. Plot ceritanya tentang hilangnya seorang anak secara misterius di tengah hutan di sebuah kota kecil. Repotnya, kasus ini mengarah kepada kejahatan rasial. Warga kulit putih menduga pelakunya adalah orang kulit hitam.
Samuel L. Jackson, yang berperan sebagai detektif kulit hitam melakukan investigasi, termasuk menginterogasi ibu sang bocah, seorang janda usia muda. Penyelidikan mengarah hingga ke arah supranatural. Sang anak diduga diculik untuk dijadikan tumbal ritual ilmu hitam.
Tapi penyelidikan berakhir di luar dugaan. Tak ada supranatural sama sekali. Sang anak ditemukan dalam keadaan sudah tewas dikubur di tengah hutan. Pelakunya? Ternyata sang ibunya sendiri. Motifnya? Kesal kepada sang anak karena menghalanginya untuk berkencan dengan kekasihnya. Lalu sang ibu mencekoki anaknya dengan obat hingga meninggal.
Sang ibu akhirnya ditangkap. Ia menangis, meraung, menyesali kekhilafannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, ia pun dipenjarakan.
Setelah beberapa lama sang detektif mengunjungi sang ibu. Mereka berbicara dari hati ke hati. Sampai akhirnya sang detektif pun mencurahkan persoalan hidupnya kepada wanita tersebut. Ternyata ia tengah menderita karena anak lelaki satu-satunya yang telah dewasa kini meringkuk di tahanan karena serangkaian kejahatan yang dilakukannya.
“Aku ayah yang buruk!” kata sang detektif penuh penyesalan. Ia mengakui dengan jujur bahwa kekerasan dan kejahatan yang dilakukan anaknya adalah hasil ‘didikannya’ sendiri. “Setiap pulang ke rumah aku hanya menyakiti anakku,” tuturnya lirih di hadapan perempuan tersebut. “Ia melakukan kejahatan dengan menggunakan pistolku.”
Di akhir cerita, sang ayah yang detektif ini berkunjung ke penjara tempat anaknya ditahan. Dengan senyuman ia menemui putranya. Sang anak surprise dengan kedatangan sang ayah dengan muka ramah. “Dad, ini seperti natal di bulan November.” Mereka tersenyum.
Ayahbunda yang dirahmati Allah, memang ini hanya film, tapi memang ada insight yang saya renungi malam itu. Dialog di akhir film itu seperti menampar muka saya. Sang detektif menyadari ia adalah the bad daddy. “Setiap aku pulang aku hanya menyakiti anakku.”
Ya, coba kita renungkan, apa yang para bapak lakukan saat pulang ke rumah? Bisakah kita menjadi ayah yang menyenangkan? Atau justru menyebalkan untuk anak-anak kita di rumah?
Banyak anak — juga istri – yang kesal bila ayah atau suami mereka pulang. Mau enaknya sendiri, arogan, dan menyebalkan untuk anak-anak mereka. Ketika ada di rumah seringnya marah-marah, jauh dari menyenangkan. Ayah justru sosok yang menyebalkan saat berada di rumah.
Mungkin sebagian bapak beralasan; kami sudah capek 6 hari bekerja selama 8 jam bekerja, ditambah 2 jam lebih di perjalanan, maka kami minta dong pengertian selama ada di rumah. Kami kan butuh istirahat.
Ooh, sadarlah para ayah, ingatlah komitmen anda saat berkeluarga. Bukankah kita – kaum lelaki – sudah berkomitmen untuk membangun keluarga? Pahamilah arti membangun, yaitu menciptakannya, membuat landasannya dan merakitnya setahap demi setahap. Ketika bangunan itu sudah jadi maka tugas bukan berarti berhenti, tapi ada kewajiban untuk merawatnya.
Sungguh tidak adil bila para ayah merasa berhak untuk diperlakukan “istimewa” di rumah oleh anak-anak. Padahal mereka juga berhak untuk disenangkan oleh ayah mereka saat berkumpul bersama. Namun yang terjadi adalah sudahlah sulit bertemu sang ayah, tapi saat bertemu justru ayah bersikap menyebalkan.
Ingatlah pesan Nabi Muhammad saw., “Sesungguhnya pada keluargamu ada hak yang wajib ditunaikan.” Berarti keluarga — termasuk anak-anak – boleh menuntut hak mereka kepada para ayah.
Maka para ayah, janganlah egois, jangan jadi ayah yang menyebalkan. Saat engkau berada di rumah, saat itu anak-anak membutuhkan kehadiranmu dan perhatianmu. Meski engkau sekedar berdiri memandang mereka, tersenyum, atau melemparkan candaan ringan, apalagi bila engkau bisa memberikan motivasi dan inspirasi.
Andai para ayah sadar betapa pentingnya arti kehadiran dan perhatian mereka kepada setiap anak mereka, maka kepribadian Islam dan positif akan tumbuh bersemi dengan subur dalam jiwa anak-anak kita.
Mulailah menjadi ayah yang menyenangkan. Luangkan waktumu yang singkat untuk membuat dunia mereka ceria. Luruskanlah dengan kasih sayang kesalahan mereka. Buanglah perilaku menyebalkan dari pribadi kita. Bisa? Yakin pasti bisa!
Ada anak yang ketika kecil nakal sekali, saat dewasa justru menjadi orang besar yang kehadirannya memberi manfaat bagi ummat manusia. Tetapi ini bukan berarti untuk menjadi orang besar, masa kecilnya harus nakal. Imam Syafi’i rahimahullah, semasa kecil menunjukkan antusiasme belajar yang sangat besar, saat beranjak besar semakin berkobar-kobar semangatnya, dan di usia yang masih amat belia, yakni 16 tahun,telah memiliki kepatutan untuk memberikan fatwa. Sebuah kedudukan yang sangat tinggi bagi seseorang yang mendalami agama ini. Beliau juga menjadi peletak dasar ushul fiqh yang sangat berpengaruh hingga kini.
Tak sedikit pula kita membaca dalam sejarah tentang orang-orang yang membawa kerusakan di masa dewasanya, ternyata saat kecil telah menunjukkan perilaku nakalnya. Bermula dari masa kecil yang tak tertangani dengan baik, keburukan itu melekat padanya hingga masa dewasa. Ia rusak dan merusak orang lain.
Apa yang ingin saya katakan dengan tulisan ini? Menyederhanakan masalah bahwa kenakalan anak justru bermanfaat untuk keberhasilannya di masa dewasa, merupakan kesimpulan yang terlalu gegabah. Sederhana itu memang tanda kebijaksanaan (simplexveri sigillum), tetapi terlalu menyederhanakan persoalan tanda kurang wawasan dan dangkal berpikir. Sama kelirunya menganggap kenakalan anak merupakan pertanda masa depan yang sangat buruk. Ini juga terlalu menyederhanakan masalah.
Di sebuah seminar, seorang bapak dari Dinas Pendidikan setempat menyampaikan dengan sangat mantap. Ia berkata, “Anak nakal itu tidak ada. Sekali lagi, tidak ada. Yang ada adalah over-kreatif.” Ini ungkapan yang indah, memukau dan membodohkan. Jika benar kenakalan itu merupakan bentuk over kreatif, maka mafhum mukhalafah-nya yang tidak nakal pastilah menjadi orang-orang yang sangat kreatif. Tetapi yang kita jumpai tidak demikian. Yang nakal, tidak kreatif. Yang tidak nakal pun sama: tidak kreatif.
Bapak yang terhormat tersebut melanjutkan perkataannya, “Kenakalan itu tidak ada. Yang adalah over energi. Anak memiliki energi sangat besar, tetapi tidak tahu bagaimana menyalurkannya.” Hmm…., bapak kita ini rupanya lupa bahwa salah satu masalah serius kita adalah hilangnya gairah belajar sehingga seakan mereka tak punya energi. Ditakut-takuti tidak takut, diiming-imingi tidak kepingin. Dan ada anak-anak yang justru menunjukkan perilaku tidak mau mengikuti perintah serta aturan. Semakin ia didorong melakukan, semakin ia menunjukkan keengganan. Ia mengembangkan perilaku dawdling; makin disuruh, makin malas ia bergerak.
Bedakan Memahami dan Menjuluki
Belakangan ini banyak orangtua maupun guru yang menghindari kata nakal dengan keyakinan bahwa itu justru dapat menjadikan anak benar-benar nakal. Mereka bersibuk menghalus-haluskan kata, mengindah-indahkan istilah sehingga justru semakin membingungkan. Makin dihalus-haluskan, makin jauh dari makna aslinya dan bahkan rancu dengan berbagai istilah lain.
Sesungguhnya menghapuskan kata nakal samasekali berbeda dengan mengatasi kenakalan. Kekhawatiran para pendidik terhadap istilah nakal agaknya bermula dari kerancuan antara memahami kenakalan dengan menjuluki anak dengan sebutan nakal. Keduanya sangat berbeda. Kita memang tak seharusnya memberi label negatif dengan menjuluki anak sebagai nakal, bandel dan sejenisnya. Tetapi bukan berarti kenakalan itu tidak ada. Sama halnya seorang da’i harus memahami tentang berbagai bentuk kemaksiatan, tetapi bukan berarti ia patut berkata kepada seseorang yang melakukan maksiat dengan ungkapan, “Wahai Ahli Maksiat!”
Tetapi…
Sebagaimana kita tidak boleh menutup mata bahwa kenakalan itu ada, orangtua maupun guru juga tidak boleh gegabah menilai perilaku anak sebagai kenakalan. Kerap terjadi apa yang dianggap sebagai kenakalan anak, sesungguhnya adalah keengganan orangtua untuk mau berpayah-payah sedikit saja. Kadangkala yang bermasalah ketika anak dianggap bertingkah justru kita selaku pendidik. Karenanya, kita perlu berusaha memahami perilaku anak –termasuk kenakalan—dengan benar. Dan memahami kenakalan tidak sama dengan menjuluki nakal kepada anak!
Ketahui Sebabnya, Selesaikan Masalahnya
Secara umum, ada empat sebab kenakalan anak. Kerap disebut juga tujuan anak melakukan kenakalan, yakni memperoleh perhatian, motif kekuasaan, melakukan balas dendam atau menghindari kegagalan.Yang disebut terakhir ini sebenarnya lebih merujuk kepada kondisi ketika anak dituntut untuk sempurna, tetapi ia merasa tidak akan sanggup memenuhinya, makaia bertindak nakal justru agar dimaklumi jika nantinya gagal. Jadi, kenakalan merupakan pelarian ketika ia merasa tidak akan berhasil. Tetapi orang lain melihat sebaliknya, yakni ia gagal karena nakal.
Tiap-tiap jenis kenakalan memiliki ciri khas (karakteristik) yang berbeda-beda. Salah satu kunci menyelesaikan masalah adalah dengan memahami betul ciri khas kenakalan anak, sehingga dapat secara tepat memahami tujuan kenakalan anak. Jika kita dapat memastikan tujuan kenakalan –dan itu hanya satu di antara empat—maka akan lebih mudah bagi kita melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kenakalan tersebut.
Ada kenakalan yang bersumber dari rumah, ada pula yang tidak. Ini kita perlu ketahui agar dapat memetakan masalah dengan jelas. Dalam kasus kenakalan untuk memperoleh perhatian, sumbernya bisa berasal dari rumah, bisa juga berasal dari sekolah. Itu sebabnya, kadang ada anak yang baik di rumah, tapi di sekolah memusingkan guru. Begitu pun sebaliknya, kita dapati kasus anak yang di rumah bikin orangtua sakit kepala nyaris tiap hari, tapi di sekolah baik-baik saja. Jadi, kenakalan karena ingin memperoleh perhatian umumnya muncul di tempat dimana ia sangat menginginkan perhatian.
Yang kadang dirancukan dengan motif memperoleh perhatian adalah kenakalan karena anak melakukan balas dendam. Bersebab kita menganggap sama, tindakan yang dilakukan orangtua atau guru (jika kasusnya muncul di sekolah) juga cenderung serupa dengan penanganan terhadap kenakalan karena ingin memperoleh perhatian. Ini berakibat penanganan menjadi tidak efektif.
Perbincangan tentang kenakalan karena ingin memperoleh perhatian dan kenakalan untuk melakukan balas dendam hanyalah sekedar contoh. Saya hanya ingin menekankan bahwa kita perlu mengetahui sebabnya dengan baik, memahami sumbernya, memetakan secara tepat dan sesudah itu dapat mengambil langkah yang sesuai dengan jenis kenakalan anak.