Silaturahmi adalah sebuah perbuatan baik dan tradisi Islam yang wajib dilaksanakan dan dijaga keberlangsungannya. Yang dimaksud dengan silaturahmi adalah menyambung tali persaudaraan terhadap para kerabat yang masih berhubungan karena adanya pertalian rahim (darah). Perintah untuk menjaga silaturrahmi ini terdapat di dalam firman Allah SWT:
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
“Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi (QS an-Nisa’ [4]: 1).
Perintah yang sama juga terdapat dalam QS ar-Ra’d ayat 1.
Sebaliknya, ada celaan dan ancaman bagi yang memutus silaturahmi. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh, memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (silaturahmi), serta melakukan kerusakan di muka bumi akan memperoleh laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (jahanam)” (QS ar-Ra’d [13]: 25).
Celaan yang sama juga terdaftar dalam QS Muhammad ayat 22-23. Allah SWT melaknat para pemutus silaturahmi dan menjanjikannya tempat kembali yang buruk (Jahanam). Ini adalah sebuah indikasi bahwa memutus silaturrahmi adalah perbuatan yang haram. Indikasi lain yang memperkuat kewajiban ini banyak dijelaskan di dalam hadis Rasulullah saw., antara lain sabda beliau:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, hendaklah memelihara tali silaturahmi “(HR al-Bukhari).
Telah sangat jelas dari serangkaian dalil-dalil di atas bahwa silaturahmi merupakan kewajiban utama bagi seorang Muslim dan masyarakat Islam pada umumnya. Silaturahmi, di samping sangat bermanfaat untuk memperkuat jalinan persaudaraan di dalam keluarga-keluarga Muslim, juga dapat menjadi media bagi pembiasaan dan pendidikan yang baik bagi keluarga Muslim, khususnya anak-anak, juga sebagai media untuk berdakwah dan syiar Islam.
Siapakah Kerabat?
Di dalam Islam, pengertian kerabat dapat mencakup dua macam: (1) kerabat yang dapat menjadi ahli waris dari seseorang, ketika orang tersebut meninggal dunia; (2) kerabat yang bukan merupakan ahli waris, namun masih memiliki pertalian darah dengan seseorang.
Kerabat ahli waris adalah orang-orang yang tercantum di dalam penerima warisan seperti ayah, ibu, saudara, anak, dll. Adapun kerabat yang bukan ahli waris dan bukan pula ‘ashabah (golongan yang mendapatkan bagian, jika ada sisa warisan) adalah: bibi dari pihak bapak atau ibu; kakek dari ibu; putra dari anak perempuan; putra dari saudara perempuan; anak perempuan dari saudara laki-laki, putri dari paman pihak bapak atau ibu; paman dari ibu; anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; dan siapa saja yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan mereka. Golongan kedua ini tidak berhak mendapatkan warisan, dan nafkah dari seseorang. Namun demikian, mereka merupakan kerabat yang wajib dijaga hubungannya dengan silaturahmi.
Media Pendidikan dan Dakwah Islam
Banyak aspek kebaikan dan pembelajaran yang tercakup di dalam kewajiban silaturhami ini, khususnya bagi anak-anak, yaitu antara lain:
Pertama, mengajarkan dan membiasakan anak untuk berbakti kepada orangtua, kakek dan neneknya serta bibi dan pamannya. Pihak inilah yang paling layak untuk mendapatkan prioritas utama di dalam silaturahmi. Abu Hurairah ra. Berkata, “Seseorang pernah datang kepada Nabi saw. dan bertanya, ‘Siapakah yang berhak mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya.’ Jawab Rasul, ‘Ibumu, lalu ayahmu, kemudian saudara perempuan dan saudara laki-lakimu.’” (HR al-Bukhari).
Kedua, melatih kepedulian terhadap keadaan para kerabat serta membantu yang kekurangan. Hal ini sangat didorong oleh Rasulullah saw. Salman bin Amir menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Sedekah kepada orang miskin itu sedekah satu kali. Sedekah kepada keluarga berarti sedekah dua kali, yaitu mendapat pahala sedekah dan pahala bersilaturahmi.” (HR at-Tirmidzi).
Ketiga, ajang latihan untuk bersabar, mengalahkan egoisme dan memaafkan orang yang telah menzalimi kita, dengan menyambung kembali tali persaudaraan terhadap kerabat yang telah terputus, sekalipun mereka tidak menghendakinya, Semoga Allah SWT membukakan hati mereka untuk kembali menyambung silaturrahmi. Terkait dengan hal ini, Abu Hurairah ra. berkata, “Seseorang pernah bertanya, ‘Ya Rasulullah, saya memiliki kerabat. Saya menghubungi mereka, tetapi mereka tetap memutuskannya. Saya berlaku baik kepada mereka, tetapi mereka membalasnya dengan keburukan. Saya bersabar terhadap mereka, namun mereka tetap mengganggu saya.’ Nabi saw. bersabda, ‘Kalau benar perkataanmu, maka seolah-olah engkau menelankan abu kepada mereka, dan kau selalu mendapat bantuan dari Allah, selama engkau tetap demikian.’” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Amr bin Ash menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Bukanlah menghubungi tali persaudaraan (silaturahmi) itu adalah seorang membalas hubungan kebaikan. Namun, menghubungi persaudaraan (silaturahmi) itu adalah menghubungkan kembali persaudaraan jika kerabat memutuskannya (HR al-Bukhari).
Keempat, media untuk berdakwah dan menunjukkan syiar Islam, sekalipun terhadap kerabat yang masih berbeda keyakinan. Rasulullah saw. telah mencontohkan yang demikian ketika Allah SWT menurunkan firman-Nya:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ
Berilah peringatan terhadap sanak keluargamu yang terdekat (QS asy-Syu’ara [26]: 214).
Saat itu, sebagaimana penuturan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. segera mengumpulkan para kerabatnya seraya berseru, “Hai Bani Kaab bin Lu’ay, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Hasyim, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abni Manaf, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Murrah bin Kaab, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Bani Abdil Muthallib, selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Hai Fatimah, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sebab, aku tidak kuasa membela diri kalian dari siksa Allah sedikitpun, hanyalah hubungan keluarga, aku akan menghubunginya dengan baik.” (HR Muslim).
Jika berdakwah terhadap kerabat non-Muslim saja diperintahkan oleh Allah SWT, apalagi terhadap kerabat yang Muslim, tentu saja lebih utama untuk selalu menyampaikan nasihat dan saling mengingatkan (QS al-Ashr [103]:1-3).
Kelima, mengajarkan dan membiasakan kepada anak adab-adab Islam dalam bertamu seperti mengucapkan salam, meminta izin ketika memasuki rumah orang, bersikap ramah serta murah senyum, seperti halnya dijelaskan oleh Rasulullah saw., “Jika kalian saling berjumpa maka ucapkanlah salam dan berjabat tanganlah. Jika kalian berpisah maka berpisahlah dengan ucapan istigfar.” (HR ath-Thahawi).
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR at-Tirmidzi & Ibn Hibban).
“Seorang tamu yang masuk ke rumah suatu kaum hendaklah duduk di tempat yang ditunjuk kaum itu sebab mereka lebih mengenal tempat-tempat aurat rumah mereka.” (HR ath-Thabrani).
Demikian di antara kebaikan dan pembelajaran yang dapat diteladani oleh keluarga Muslim dari silaturahmi. Kemudahan komunikasi serta transportasi yang ada saat ini sangat membantu dalam memfasilitasi pelaksanaannya. Apalagi media dakwah pun telah sangat beragam; seperti halnya buletin, tulisan, CD, dll juga sangat efektif dijadikan buah tangan kepada para kerabat. Semoga Allah SWT selalu memberi keberkahan, melapangkan rezki dan memperpanjang usia bagi siapapun yang mengamalkan silaturrahmi ini. Wallâhu’alam bi ash-shawâb.